Kisah Nyata Pasien Abah Rahman
KARENA hujan deras masih mengguyur
bumi pada Rabu sekira pukul 10 Wib itu, aku, Mbak Rini dan Abah Rahman berbalik
arah menuju tempat praktek Abah Rahman. Kami memutuskan menunda rencana ‘ngalap berkah’ ke sebuah tempat
keramat di kawasan Deli Tua.
Ternyata, aku yang terlanjur kuyup
tak tahan ‘dibantai’ hujan. Karena mantelku kebetulan model baju celana, dan
itu kuminta dipakai Mbak Rini yang kubonceng. Mantel Abah Rahman juga modelnya
sama. Sebab itu pula, kami yang sudah berada di Jalan Kopi kawasan Marindal,
singgah ke sebuah warung. Sementara Abah Rahman berinisiatif membelikan mantel
untukku.
Baru sekitar lima atau tujuh menit
kami duduk di warung nasi, handphone Mbak Rini yang pengusaha pakaian itu
berdering. Oleh seseorang, Mbak Rini diminta meluncur ke rumahnya di kawasan
Medan Selayang, karena petugas bank ingin menangih janji pembayaran kredit.
Kalau tidak, rumah akan disita. Mbak Rini pun menjawabnya, “tunggu saya
pulang.”
“Stress betul awak, Bang. Beginilah
nasib janda, semuanya serba sendiri. Karena capek miskin, setahun lalu itu kan
awak kredit ke bank, untuk buka toko pakaian kecil-kecilan. Tapi itulah, karena
banyaknya hutang lama yang mau dibayar, orang tua di kampung pun menyandarkan
hidupnya sama awak, enam bulan sudah pembayaran macat,” ungkap Mbak Rini. Air
matanya menitik deras, mengimbangi hujan yang tak kunjung reda.
“Jadi apa yang bisa kami bantu
dengan Abah Rahman ?” tanyaku.
“Coba kita diskusikan nanti sama
Abah Rahman, Bang. Apa yang awak harus lakukan dengan keris kecil pelaris ini.
Tiga bulan sudah awak mahari ini, Bang,” sambutnya.
SOLUSI ABAH RAHMAN
Begitu Abah Rahman sampai ke warung
dengan membawa sebuah mantel untuk kupakai, persoalan Mbak Rini itu pun
disampaikan kepadanya. Abah Rahman hanya manggut-manggut. Dan kulihat dia
seperti berpikir keras, karena dua bola matanya naik turun, seakan mencari sesuatu
untuk diamati. Mungkin, itulah yang dimaksud dengan menerawang.
Terus paranormal pemilik nomor
handphone 0813 7630 6023
itu bilang,”jadi saranku begini, Mbak Rini. Mbak telephone petugas bank, bilang
minta waktu sampai senin nanti. Tidak usah pulang, karena terikat janji lagi
nanti, karena ada yang mau ditekenkan mereka itu. Sudah, telephone lah, aku
bantu doa.”
Paten, Mbak Rini pun bisa ‘mengusir’
petugas bank dari rumahnya. “Jutaan itu Bah, untuk senin nanti. Apa yang harus
awak buat ?” Tanya Mbak Rini.
Dijawab pemilik akun facebook Abdur
Rahman dan www. Abah rahman.blogspot.com itu,”coba Mbak ingat-ingat,
siapa-siapa yang sudah Mbak tawari belanja pakaian atau bakal pakaian. Atau
yang mungkin bisa jadi agen penjualan. Kita hanya punya waktu empat hari,
sebelum senin kan.”
“Oh…. ada Bah, ada. Enam orang juga
yang awak telephone. Apa petunjuk, Bah ?”
“Oke. Sekarang begini, kita pisah.
Aku balik ke tempat praktek, karena ada pasien menunggu,” kata pemilik pin BB
214841E6 itu, sambil menunjukan BBM yang masuk.
“Kami ?” tanyaku, sampil menyepak
kaki Mbak Rini yang disampingku, dengan maksud supaya dibayarnya nasi yang kami
makan bertiga.
Mbak Rini pun bangkit, tapi ditahan
Abah Rahman. “Sudah, aku saja yang bayar, Mbak. Sekarang, Abang kawani Mbak
Rini menjumpai enam orang itu. Tak usah ditelephone mereka. Dari
penerawanganku, mereka di alamatnya masing-masing ini. Mbak Rini, bawa keris
pelaris kan ?”
“Iya, Bah bawa. Karena takut
tercecer, maaf, awak tarok di bra,” jawab Mbak Rini polos. Spontan kami berdua
tertawa.
“Tak masalah, kalau niat
meletakkannya tak menyimpang. Dimana saja pun boleh, asal kan tidak di tempat
yang kotor. Memang, maaf kalau diletakkan di cd misalnya, tidakkan hilang
energi supranaturalnya.
Percayalah.
Karena tak ada benda apa pun yang bisa menyedot energi supranatural di
wadahnya, baik cincin, keris kecil, maupun benda lain, kecuali aku atau guruku
yang menariknya. Hanya saja, kita sudah melanggar asas kepatutan.
Kan tak patut namanya kalau benda keramat
semacam itu, kita letakkan sembarangan. Jangan mentang-mentang maharnya hanya
Rp 300 ribu, kita bisa sembarangan. Energi di benda-benda itu, konek ke
langsung ke aku itu, sebagai penerima ijazah ajiannya.”
“Maaf
Bah, sudah mengecewakan Abah,” sebut Mbak Rini.
Abah
Rahman tertawa kecil. “Aku tidak marah, Mbak. Hanya mau menerangkan apa
sebetulnya energi supranatural itu, dan harus bagaimana kita menghargai dan
menggunakannya. Oke. Sekarang, kita terobos lagi hujan ini. Supaya kebetuhan
senin terpenuhi. Aku tetap akan kontrol, perjalanan Mbak.”
BANGKITKAN ‘DENDAM’
Mbak Rini pun kubonceng di tengah
hujan, menuju ke enam alamat dimaksud. Dan betul penerawangan Abah Rahman itu,
kami ketemu dengan keenam orang dimaksud.
Singkat kisah, memang tidak
seluruhnya berhasil. Tapi dari satu orang, Mbak Rini mendapatkan janji transfer
Rp 7,6 juta untuk pemesanan bakal baju seragam batik. Kebetulan, yang dipesan
ada di toko Mbak Rini.
Bathinku waktu transaksi itu, luar biasa pengaruh energi
keris kecil pelaris made in Abah Rahman. Bayangkanlah, sebetulnya pada awalnya
pemesanan tak jadi, karena corak batik yang tak cocok. Tapi bisa pula Mbak Rini
meyakinkan, bahwa corak batik yang ada padanya cukup bagus untuk seragam sebuah
sekolah. Dan orang yang kami jumpai itu, menyambut dengan manggut-manggut.
Minta keesokan harinya diantar barang, stelah itu ditransfer uang.
Itulah, akhirnya kami pulang setelah
menelepon Abah Rahman. Dibilang Abah Rahman,”sejumlah itu yang dibutuhkan, ya
itu dulu lah diperoleh. Yang harus disyukuri, doa kita Kabul, karena
betul-betul darurat.”
Ketika kami makan malam yang
kemalaman, Mbak Rini pun mengakui bahwa, sebentuk keris yang dimantrai Abah
Rahman sebagai cincin pelaris buat Mbak Rini itu pengaruhnya terasa betul.
“Begitu
dipakai, macam ada dorongan dari dalam diri. Yang namanya malas, ragu, segan
untuk menawarkan jualan, bisa hilang. Yang enam orang kita jumpai tadi kan yang
awak telepon setelah pakai keris ini. Rupanya ada yang harus didekatkan dengan
energi keris ini ya, supaya del,” kata Mbak Rini.
Mbak
Rini juga mengakui bahwa, keris pelaris hasil olah bathin Abah Rahman itu sudah
membangkitkan ‘dendamnya’ terhadap kemiskinan. Buktinya, badan Mbak Rini
seperti tak capek mengerjakan apa saja yang pantas dan halal, supaya dia bisa
bayar hutang, memenuhi kebutuhan hidup, dan pada gilirannnya nanti punya
tabungan.
“Dari
kecil awak miskin, Bang. Memang sih, selama ini motivasi cukup kuat untuk
mengubah nasib. Tapi begitu pakai keris pelaris, ibaratnya, kalau selama ini
awak lari kepepatan gopek, ini sekarang sudah lari seribu,” kata janda beranak
satu itu. Tidak hanya aku yang terbahak, dia juga. Itu menandakan, pikirannya
sudah segar.
Itulah,
sungguh pun resikonya aku sampai rumah tengah malam, karena harus mengantar
Mbak Rini ke rumahnya di kawasan Medan Selayang,
tapi aku puas. Bisa membantu dia untuk menuntaskan satu persatu persoalan
hidupnya.
Nekat
memang aku, karena dia janda yang baru hari itu kukenal, karena diminta Abah
Rahman memboncengnya.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar