Kamis, 27 Mei 2021

Sang Dukun yang Pemalu

"Aku orangnya pemalu, bang. Tak tahu bergaul. Tak bisa membawa diri. Dan tak bisa kerja tim,"aku Abah Rahman, sore semalam.

Mukanya tak sedih saat mengungkap sisi lemahnya itu. Biasa-biasa saja. Nada bicaranya juga datar.

"Semasa kecil aku sering dibully sama kawan sepermainan. Makanya, kemana-mana aku selalu sendirian. Ke tempat-tempat sepi dan keramat,"tambahnya.

Lagi-lagi, nadanya datar. Awalnya saya berharap, Abah Rahman pasang muka sedih. Pura-pura mewek, netesin air mata. Dikit pun jadilah. Biar kelihatan cius (baca serius) wawancara daring dengannya. Tapi nyatanya tidak ehehee......

Itulah pengakuan cenayang Abah Rahman, saat ditanya alasan banting setir. Dari wartawan ke dukun. Dua alam yang berbeda jauh skillnya. Ibarat langit sama sumur. Jauuuuuuuuuuuuuwah nian.

Dulu setamat sekolah, antara 2007-2008 -an lah (kalau salah minta maaf), sebelum jadi dukun dan digelari Abah, dia pernah jadi jurnalis. Tapi nggak lama.

Sekali melamar, beruntungnya, Rahman langsung diterima. Dia pun bergabung di tim redaksi koran kriminal Posmetro Medan. Kantornya di Graha Pena Jalan SM Raja. Persis di seberang gerbang Tol Amplas.

Digembleng oleh orang-orang beretos kerja keras dan tegas. Awalnya, Rahman sempat down. Asanya nyaris pupus. Alasannya ya itu tadi, tak bisa kerja tim. Ditambah, pemalu.

Sementara keredaksian menuntut Rahman dan temam-temannya bisa bekerja bersama dan sama-sama kerja. Rahman berusaha menyanggupi. Tak lantas lempar handuk.

Sebulan, 2 bulan dan berbulan-bulan lamanya, Rahman berusaha beradaptasi. Dia mulai bisa mengikuti ritme kerja keredaksian. Meski, dimomen-momen tertentu dia masih canggung.

Rahman, sejatinya bukanlah pribadi pemalu tulen. Dia masih bisa membuat canda-canda kecil. Walau kadang, jokenya tidak buat orang terpingkal-pingkal.

Saya, kebetulan pernah sekantor dengannya. Tak terlalu akrab. Tapi kami sering ngobrol dengan rekan kerja yang lain.

Pernah suatu waktu, Rahman kedapatan bercanda bersama teman setim. Di koran Posmetro maupun Sumut Pos.

Minimal, candaannya ketika itu, bisa membuat kawan-kawannya melebarkan bibir. Senyum. Rahman memang dikenal irit becakap. Hanya menimpali pembicaraan orang. Itupun sekali-sekali.

Di Posmetro, Rahman pernah dipercaya memenejemeni rubrik Supranatural. Dia lihai memilih artikel-artikel yang bersinggungan hal-hal gaib, klenik. Nah dari situlah, Rahman dikira dukun.

"Dipikir pembaca aku dukun. Pernah ada yang minta berobat, langsung ku iyakan,"aku Rahman.

Rahman pun berlagak dukun yang sudah punya izin praktik. Pembaca yang mengira dia orang pintar, dimandikan. "Kumandikan di pemandian putri hijau, Namorambe,"katanya. Tempat itu adalah tempat favorit ia menyendiri dan melakukan ritual.

Syukurnya, praktik dadakan kali pertama itu berhasil. Rahman dapat salam tempel. Istilah dunia perdukunan ; disalami mahar. Tapi berapa mahar yang ia terima, tak mau dibeberkannya. Rahasia dukun, itu alasannya.

Sejak itulah Rahman mulai kebanjiran job. Menyembuhkan orang-orang yang bermohon disembuhkan dengan ilmu kebathinannya.

"Semua problem pasien kuritualkan di tempat keramat. Melalu foto dan namanya,"ucap Rahman. Sambil mengaku, mulai membuka praktik secara resmi sejak 2009. (Wik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar