Sabtu, 05 Mei 2018

Abah Rahman : "Saya Melihat itu Sebuah Istana"

HAMPARAN hening di tepi Sungai Deli itu hanya dipenuhi kolam ikan, sawah, dan satu dua pohon tua. Sekilas biasa saja. Tapi puluhan tahun sudah kawasan itu menjadi fakta kisah jutaan orang menumpahkan segala keluh dan resah. Itulah Pancur Gading.

"Dulu, anjing pun tak berani masuk ke sini," Jimmi, penjaga kelestarian situs Pancur Gading, membuka cerita kekeramatan tempat kelahirannya itu. "Siapa berani ngomong kotor, mulutnya langsung mencong," katanya lagi. Berada di Desa Pamah, Delitua, Sumatera Utara, Pancur Gading sejatinya  lokasi 2 pancuran besar dengan air terus mengalir sepanjang jaman. Di pancuran itulah Putri Hijau doeloe selalu mandi.

Ini si jelita nan sakti, Ratu Kerajaan Haru. Sepak terjang sosok legenda hidup itu tercatat mulai tarikh abad 12. Diyakini sebagai eks areal istana Kerajaan Haru, Pancur Gading diketahui telah sohor sejak baheula. Wilayah ini bahkan menjadi bagian sejarah munculnya Sumpah Palapa sang Gajah Mada.

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa,” demikian bunyi sumpah terkenal itu. Sumpah yang muncul di tahun 1336 itu dalam bahasa Indonesia berarti, “Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa."

Dengan latar sejarah itu, Pancur Gading yang menjadi saksi bisu sebuah perang besar pun diyakini sebagai wilayah dikelilingi rute roh-roh halus. Sebagian penghuni dari komunitas gaib di sana adalah roh-roh yang karomah. Kekaromahan itulah menjadi ‘perantara’ yang diyakini membuka jalan menuju turunnya kemurahan Sang Maha Pemurah. Karena itu pula, sekalangan spiritualis acap berkumpul di sana. Mereka memanjatkan doa bagi ketentraman hidup umat manusia.

Abah Rahman menjadi salah satu ahli batin yang diketahui sering mendatangi Pancur Gading. Saking sering, hal-hal aneh pun telah sering dilihatnya. “Jadi orang lain melihat secara nyata itu adalah sebuah sungai, tapi saya malah melihatnya sebagai sebuah istana,” tutur Abah Rahman seraya memandang Sungai Deli di depan Pancur Gading.  "Istana itu penuh dengan orang-orang berjubah aneh. Mereka lalu lalang beraktifitas, tapi semuanya membisu," sambung Abah Rahman soal hasil penglihatan mata batinnya. Ia kemudian bercerita sedikit soal daya mata batin.

"Seperti itulah gambaran komunitas gaib di tempat ini, juga di banyak lokasi lain. Ramai tapi hening membisu. Karena itu pula, klenik itu artinya 'bisik-bisik'. Penyampaian ilmu klenik ya seperti orang membaca di tengah keramaian, seperti dalam kereta api atau bus sesak penumpang. Tidak diucapkan, tetapi hanya dengan batin. Tidak bersuara pula. Bahkan bibirnya pun tidak bergerak sama sekali."

Begitulah. Karena kekeramatan Pancur Gading telah lama diakui, Abah Rahman telah lama memanfaatkan energi gaib di wilayah itu. Tentu untuk mengobati orang-orang yang dirundung masalah. Wisik atau petunjuk gaib di sanalah yang menuntun hari-harinya untuk selalu berbuat kebaikan. Mengobati rupa-rupa penyakit serta problem hidup, paranormal bertubuh subur itu memang dikenal telah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada umat manusia, tanpa mengenal agama.

Dan karunia atas kemampuan yang dimilikinya itu bukanlah tanpa konsekwensi.Meski dikenal mampu memberikan penglaris terhadap usaha dagang, nyatanya

Abah Rahman sendiri tidak diperkenankan untuk berdagang atau membangun bisnis apa pun. Itu salah satunya. “Kalau saya berani melanggar itu, pasti hancur bisnisnya,” tandas Abah Rahman soal pantangan di sela derasnya wasiat gaib yang didapat guna menuntaskan problem hidup para pasiennya. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar