Sabtu, 29 November 2014

Keranjingan ”Ngalap Berkah” Hingga Jadi Dukun

Makam Keramat di Batu Rata, Deli Serdang

Abdurrahman yang kini populer dengan panggilan Abah (ayah) Rahman, Jumat (28/11) sore tampak terburu-buru memacu sepeda motor maticnya dari arah Patumbak, berbelok kanan menuju Tanjung Morawa. Aku yang dari arah Tanjung Morawa dan sudah terpacak di simpang menunggu traffic light hijau, tak bisa mengejarnya. Begitu aku bisa berputar arah, yang kutuju adalah tempat prakteknya. Betul saja, begitu aku sampai di tempat prakteknya, yang terpandangku adalah dua orang ibu muda bersama seorang balita yang sedang serius ngobrol dengan Abah Rahman.

Menurut pemilik rumah tempat praktek Abah Rahman yang kebetulan berada di halaman, mereka datang dari Simalungun dan sudah menanti dua jam lebih. Sementara mereka harus pulang sore itu juga. Aku pun ke Masjid Al Hidayah, karena memang belum salat ashar. Tapi pemilik nomor handphone 0813 7630 6023 dan pin BB 214841E6 itu kukabari bahwa aku menunggunya di masjid. Nah, sekira satu jam kemudian, pemilik akun Abdurrahman atau Abdur Rahman itu memanggilku melalui inbox Fb. Kebetulan memang, selesai salah asyar, aku buka Fb di areal parkiran masjid. “Iya bang, aku terburu-buru tadi. Aku ziarah ke Galang dan Patumbak. Salat Jumat pun tadi di Galang. Itu tadi yang datang pasien lamaku dari Simalungun, membawa tetangganya. Urusannya sama bang, memahari cincin pelaris usaha,” ungkap Abah Rahman.

“Panjang juga ya, Bah. Lima tahun juga Abah melakoni profesi dukun ya,” ungkapku nyeleneh. “Begitulah bang, ketentuan Tuhan tu. Tak pernah kurencanakan ini, bang. Dan buka cita-citaku,” jawab perantau asal Tanjung Balai itu polos.

‘Maaf, tidak ada rencana beralih atau menambah profesi ? Kan belum termanfaatkan semua potensi diri Abah tu….” “Ya.., mungkin inilah duniaku sampai akhir hayat. Karena memang, sejak kumulai tahun 2009, aku ikhlas melakoninya. Keikhlasan itu pulalah mungkin, yang membuat profesiku ini berkah. Ya… Alhamdulillah bang, istri dan tiga anakku sampai sekarang, terpenuhi semua kebutuhannya. Aku pun Insya Allah, bisa pula membantu keluarga, dan mengeluarkan ZIS. Jadi tak adalah alasan nampaknya, kalau harus beralih atau menambah profesi. Sisi lain bang, banyak pasienku yang sudah seperti keluarga. Artinya, dengan profesiku ini, aku bisa memproduktifkan silaturrahim. Jika penat, bisa awak beseloro dengan saudara-saudara baru ini melalui Fb atau Twitter. Jadi apalagi yang mau dicari.… Jadi itulah bang, kalau nampak abang aku ini aneh-aneh, atau kufur nikmat, lupa diri, abang tegur aku. Abang kan yang selama ini sering memperhatikan aku,” ungkap Abah Rahman. Suasana hening sejenak. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Yang spontan melintas dalam ingatanku adalah bagaimana sosok Abdurrahman saat menginjakkan kakinya di Medan tempo hari. Sosok anak orang miskin yang tak punya sanak keluarga di tanah rantau. Sering masuk angin dan minta kukusuk, karena sering tak makan. Begitu kutularkan ilmu jurnalistik, dia pun berhasil melakoni profesi wartawan. Tapi itulah, dia harus pula memulai dengan perjuangan yang cukup berat. Sering kusaksikan dia mengayuh sepeda botot, yakni sepeda mini yang sebetulnya untuk anak-anak dan sudah ‘menjerit’, pergi ke sekolah-sekolah. Untuk menawarkan kesempatan kepada siswa, agar dipublikasikan karya-karya seni mereka, seperti puisi, pantun dan cerpen. Pengalaman itu pulalah yang membawanya menjadi seorang wartawan di sebuah harian terkenal. Dan pada gilirannya ia bertemu dengan sejumlah paranormal ternama, karena ia diberi tugas menulis tentang dunia paranormal, dan pada gilirannya membuatnya keranjingan ‘Ngalap Berkah’ (minta berkah) ke pemakaman keramat. Dan seterusnya menjadi ‘dukun’.

//Membantu Orang
“Kok menetes air mata abang ? “ Pertanyaan Abah Rahman itulah yang membuat aku tersentak, lalu kuhapus air mataku dengan sapu tangan. “Kalau aku bang, sudah terkuras, atau tertumpat, makanya tak bisa menangis lagi sejak empat tahun lalu. Terlalu lama aku yang menangis tu….” Dia pun menepuk-nepuk pundaku sambil tertawa kecil. ‘Terima kasih, atas perhatian abang selama ini. Tak akan kulupakan itu, bang…” “Yak… aku bangga punya adik seperti Abah,” sembari menegarkan jiwa. “Karena hakikat dari profesi yang sekarang ini, membantu orang-orang yang terpuruk ekonominya. Membantu orang supaya ada jaminan kelangsungan usahanya. Membantu orang supaya dia bisa membayar hutang, dan tak berhutang lagi. Faktanya begitu kan ?” “Umumnya begitu, bang. Logikanya, karena terhambat usahanya, dan belum ditemukannya solusi, makanya mereka perlu mantra-mantra pelaris, atau benda-benda yang dibubuhi ajian pelaris. Karena mereka juga mempercayai hal-hal yang ghaib seperti ini. Kalau tidak percaya, pasti mereka tidak berusaha menjumpai kita. Ini kan logikanya.” ”Oh jadi, Abah sekarang tidak hanya memberikan kesempatan kepada orang untuk memahari cincin pelaris, tapi juga mantranya ?” “Akhirnya pertimbangannya begitu, bang. Silahkan kalau ada orang yang mau memahari mantra. Karena kita ingin membantu orang secara maksimal.” “Maksudnya, dengan penguasaan mantra, dia juga bisa membubuhi sendiri benda-benda yang dia inginkan, supaya jadi benda yang memiliki ajian pelaris. Bagus juga itu…” “Ya, niat kita begitu. Hanya saja, masih terbatas pada keperluannya sendiri. Belum bisa untuk keperluan orang lain. Istilahnya, harus kita ijazahkan dulu, baru bisa,” terang Abah Rahman. “Atau mantra itu dipakainya langsung, tanpa benda..” “Itulah dia bang, maksudnya. Karena kan, banyak juga orang yang tak hobi memakai cincin misalnya. Atau sebaliknya, cincin dia banyak dan sering berganti-ganti dipakai. Jadi dengan penguasaan mantra, dia tak perlu lagi membawa semua cincin ke sini. Dimantarainya saja sendiri, dengan tata cara yang kita ajarkan.” Teringatnya, mahar mantra berapa, Bah ?” ‘Sama bang, dengan mahar cincin atau benda lain. Rp 500 ribu sekarang.” “Jadi kalau umpanya aku yang ingin memahari, sama jumlahnya ?” tanyaku nyeleneh lagi. Abah Rahman pun spontan tertawa dengan pertanyaan itu.

‘Begini, bang. Disebut mahar kan, karena syarat ya. Dan syarat itu tidak boleh pula tidak dipenuhi. Nah, kalau abang mau maksimal manfaat mantra atau cincin pelaris, ya keluarkanlah mahar dengan jumlah itu. Nah umpamanya, maaf ya, karena ketiadaan lantas abang berhutang untuk mahar, itu kan bisa diatasi kemudian. Datang lagi abang sama aku, abang minta untuk pembayar hutang. Aku kan bisa kasi, dari uang yang sudah menjadi hakku. Karena dari mahar-mahar itu, ada sekian persen hakku sebagai pemegang mantra, atau sebagai pekerja yang melakukan ritual untuk pengisian benda pelaris.” “Iya… ya, bah. Dan mahar yang Rp 500 ribu itu, bukan untuk Abah semua ya. Sekian persen untuk pembeli benda, sekian persen untuk iklan, sekian persen untuk sewa tempat praktek, sekian persen….” ‘Sekian persen untuk infaq atau sedekah, sisanya baru untuk pemegang atau pekerja,” timpal Abah Rahman. Kembali kami larut dalam pikiran masing-masing.

//Muak Kemiskinan
Kembali Abah Rahman yang memecah keheningan sore di bilik tempatnya praktek. “Jadi itulah bang, aku pun semakin yakin sekarang. Allah tidak pernah memberikan yang sia-sia bagi semua hambaNya. Walaupun pengalaman hidup yang cukup menyakitkan yang diberiNya kepada kita, percayalah, tak akan sia-sia. Modal kita hanya kesabaran dan keyakinan untuk mendapatkan iktibar dan bahkan berkah, dari pengalaman pahit yang pernah kita alami. Hanya saja kita terkadang, tidak sabar menunggu waktu, dan tidak pula mampu mempertahankan baik sangka kita kepada Tuhan.” “Iya ya, Bah,” balasku sambil manggut-manggut. “Aku ini kan merantau ke Medan, karena muak dengan kemiskinan. Abang kan tahu itu. Jadi iktibarnya kan, kemiskinan yang panjang di Tanjung Balai tu, melahirkan rasa muak. Lantas rasa muak itulah yang dipakai sebagai modal untuk merubah nasib.” “Harus panjang menjalani kemiskinan tu ya, supaya tumbuh rasa muak,” kataku. “Itu satu, bang. Ini kita mengambil pelajaran ya bang. Dan ternyata, kemiskinan yang panjang membuat aku lebih dominan menggunakan pertimbangan perasaan ketimbang akal. Maka jadilah aku sosok orang yang suka menyendiri dan berpikir sendiri. Dan sifat inilah pada gilirannya menjadikan aku suka ziarah ke makam-makam keramat. Sejak tahun 2009, bang. Dan tibalah saatnya, aku diberkahi ilmu pelaris usaha.” “Maka wajar ya, sekarang fokus dengan profesi dukun ya ?” “Itulah salah satu alasan utamanya, bang. Aku bersyukur betul, bang. Ya bayangkan abang lah, tanpa seragam dan tanpa pangkat, aku diberi kesempatan membantu banyak orang. Lebih dari seribu sudah jumlahnya, bang. Lima tahun sudah kulakoni ini, bang. Dengan kata lain, ribuan juga jumlahnya yang mungkin akan membantu anak istriku, kalau seumpamanya tak panjang umurku. Alur berpikir kita kan harus begitu.”(***)