Selasa, 21 Mei 2013

Mantra dari Alam Gaib


Hidup senang memang tak semuanya bisa merasakan. Orang-orang yang memiliki otak cerdas, pintar melihat situasi, pandai melobi, atau bahkan gemar mencilat pantat atasan atau cari muka. Dengan itu, ia mendapatkan kedudukan yang bagus, tentunya dengan gaji besar pula. Tapi bagaimana pula dengan yang tak beruntung. Pengangguran terus menerus. Hidup terasa sungguh menyiksa. Tak berdaya di tengah kemegahan zaman.
Pikiran saya terlempar pada sepuluh tahun silam. Ketika suasana tak mengenakkan itu menghampiri. Hingga saya benar-benar pasrah. Tak peduli lagi pada kehidupan. Kala itu dalam keseharian saya habiskan dengan berkeliling kota dengan bersepeda. Sering puasa karena tak ada uang.
Di tengah keputusasaan saya sampai ke sebuah tempat di derah Deli Tua, Deli Serdang, Sumatera Utara. Tempat itu ditumbuhi pepohonan rimbun. Ada pancurannya, dan juga dilengkapi dengan tempat doa.
Saya tak tahu tempat apa itu namanya. Namun hati saya sangat senang bila berkunjung kesana. Kegelisahan batin seolah sirna. Tak terasa tiga bulan saya ulang alik ke tempat itu. Anehnya, ketika sering berkunjung, ada saja rezeki datang. Terkadang ada minta dipijat, disuruh ngantar  pesanan, walau sedikit tapi terus mengallir.  Hidup saya sedikit berubah. Walau sedikit saya selalu mengantongi duit. Tak lupa saya juga rutin berdoa di tempat keramat itu.
Saya masih ingat, hari itu masih pagi, saya sendiri di tempat itu. Karena mata mengantuk saya tidur tiduran di dekat pemandian keramat. Entah bagaimana mulanya, saya sudah berhadapan dengan wanita cantik nan rupawan. Ia menggunakan gaun serba hijau. Rambutnya terurai panjang, dan aroma tubuhnya mengundang sensasi sahwat. Sungguh sempurna.
“Hai anak lelaki, aku tahu kamu miskin harta. Ambillah mantra ini dan kau gunakan untuk merubah hidupmu. Perempuan itu kemudian mengucapkan beberapa patah kata ke telingaku. Nafasnya hangat dan wangi. Setelah menerima mantra itu, tubuh saya terasa terbang di awang – awang, ringan bagai kapas.
Tubuh saya terguncang-guncang. Kian lama makin keras. Mata saya terbuka perlahan, orang-orang berkerumun disekelilingku. “Kami pikir kau kenapa-kenapa,” celoteh salah seorang peziarah. “Kau tidur macam orang mati,” imbuh yang lain. “Itulah akibat terlalu sering menyendiri, bisa jadi gila,” kata yang lainnya.
Sejak peristiwa itu, saya bagai mendapatkan mutiara. Dengan mantra itu usaha saya maju. Hingga kini saya sering berkunjung kesana, untuk semedi bersatu dengan alam. (Abah Rahman)